Selasa, 15 Juni 2010

ILMU FILSAFAT Sejarah dan Hukum

SEJARAH FILSAFAT HUKUM

1. Filsafat Hukum Sebelum Abad XX
Filsafat yang akan menghasilkan pikiran-pikiran modern tentang hukum dimulai perkembangannya di Yunani pada abad VI sebelum Masehi Jauh sebelumnya sudah terdapat perkembangan kebudayaan di bagian-bagian dunia lain, khususnya di Timur Tengah, di Mesir, di India, dan di Cina. Perkembangan kebudayaan itu ditandai oleh kesenian yang tinggi yang hingga kini sangat mengagumkan, seperti istana-istana raja-raja Babylonia dan Persia dan pyramid di Mesir. Kadang-kadang kebudayaan bertalian juga dengan kebijaksanaan dalam bidang kenegaraan dan hukum seperti halnya pada kerajaan-kerajaan kuno, baik di Cina maupun di Mesir dan Babylonia. Sudah terdapat juga suatu perundang-undangan yang agak lengkap di Babylonia. Sudah terdapat juga suatu perundang-undangan yang agak lengkap di Babylonia (Hamurabi, abad XVIIIseb. M.) dan di negeri Yahudi (Musa, abad XIII seb. M.)
Di Cina ditemukan juga pemikiran-pemikiran yang mendalam tentang Negara dan hukum, yang menentukan garis-garis kepemimpinan masyarakat Cina sampai zaman sekarang ini. Namun pemikiran-pemikiran yang paling subur adalah pemikiran di Yunani. Filsafat tentang Negara dan hukum sebagaimana dikembangkan di Yunani itu menjadi titik tolak pandangan modern atas gejala-gejala tersebut.
Pemikiran-pemikiran Yunani itu diteruskan dalam kebudayaan Romawi, kemudian ditampung dalam kebudayaan Eropa. Melalui kebudayaan eropa itu tanggapan tentang hukum menjadi milik bangsa-bangsa seluruh dunia. Itu berarti, bahwa untuk sampai pada pandangan modern tentang hukum kita harus menelusuri jalan sejarah eropa. Itu tidak berarti bahwa tidak terdapat unsur yang baik dalam sistem hukum lainnya. Memang ada, ump. Dalam sistem hukum Cina kuno itu, yang tentu saja cocok dengan jiwa manusia Timur. Namun modernisasi hidup mewajibkan kita untuk pertama-tama melihat latar belakang yang dialaminya dalam filsafat Yunani dan Eropa. Studi hukum adat yang lebih lanjut akan dapat membawa keseimbangan antara modernisasi dan kebudayaan asli.
Sejarah filsafat Eropa tentang hukum dapat dibagi dalam beberapa tahap, yang semuanya mempunyai coraknya sendiri.
A. ZAMAN YUNANI-ROMAWI (abad VI seb. Mas – abad V ses. Mas)
Hukum keluar dari lingkup sakral dan mulai dipersoalkan sebagai gejala alam.
     a.  Alam pikiran kuno (abad VI dan V sebelum masehi)
Ditandai suatu semangat religius yang mendalam. Dapat dibedakan antara dua aliran religi yang saling bertentangan. Aliran pertama yaitu aliran religi primitif. Dan Aliran kedua yaitu religi dewa-dewi Olimpus.
     b. Plato (427 – 347 seb. Masehi)
Plato adalah murid Sokrates, berpandangan bahwa di samping dunia fenomen, yang kelihatan, terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan, yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria).
     c. Aristoteles (384 – 322 seb. Masehi)
Aristoteles adalah murid Plato. Jasa Aristoteles sebagai pemikir tentang hukum cukup menyolok. Dialah yang pertama-tama membedakan antara hukum alam dan hukum positif, lagipula untuk pertama kalinya mengerjakan suatu teori keadilan walaupun pengertian hukum yang dihasilkannya masih kurang lengkap.
    d.  Hukum Romawi (abad III seb. Mas – abad V ses. Mas)
Pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum cukup besar, khususnya melalui ius gentium. Ius gentium itu masuk Codex Iustinianus pada abad VI, selanjutnya diresepsi dalam hukum negara-negara eropa pada abad XV dan XVI. Melalui jalan ini hukum Romawi kuno menjadi sumber utama dari hukum perdata modern.
B. ABAD PERTENGAHAN (abad V – abad XV)
Hukum ditanggapi dalam hubungan erat dengan Allah dan agama.
    a.  Augustinus (354 – 430)
Augustinus adalah pemikir kristiani, pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran akal budi teoretis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf. Pandangan Augustinus atas hukum positif kurang jelas. Augustinus memiliki suatu kewibawaan yang luar biasa dalam bidang filsafat dan teologi selama Abad pertengahan.
    b. Thomas Aquinas (1225 – 1275)
Thomas Aquinas adalah seorang rohaniawan Gereja Khatolik yang lahir di Italia, lalu belajar di Paris dan Koln di bawah bimbingan Albertus Magnus. Dalam membahas arti hukum Thomas mulai membedakan antara hukum-hukum yang berasal dari wahyu (hukum ilahi positif “ius divinum positivum”) dan hukum-hukum yang di jangkau oleh akal budi manusia sendiri (hukum alam “ius naturale”, hukum bangsa-bangsa “ius gentium”, dan hukum positif manusiawi “ius positivum humanum”).
    c. Hukum Islam
Sejajar dengan bermunculannya aturan-aturan hidup baru, timbullah juga suatu ilmu yang oleh orang islam dinamakan Fiqh. Ilmu ini mempelajari keseluruhan hak dan kewajiban yang berlaku dalam hidup bersama orang islam. Hukum yang dikerjakan para ahli Fiqh berdasarkan wahyu Allah itu disebut hukum islam. Sejak abad IX sarjana-sarjana hukum digolongkan menjadi 4 aliran yaitu : Mazhab Hanafi, MazhabMaliki, Mazhab Hambali dan MazhabSyafi’i.


C.  ZAMAN RENAISSANCE (abad XV – 1650)
Hukum mulai dipandang dalam hubungannya dengan kebebasan manusia dan dengan negara-negara nasional.
     a. Pelopor-pelopor Zaman Baru
Sebelum zaman Renaissance telah muncul beberapa pemikir, yang mewartakan datangnya zaman baru. Dua nama dapat dianggap penting bagi perkembangan filsafat negara dan hukum, yakni William dari Occam dan Marsilius dari Padova.
a) William dari Occam (1290/1300 – 1350)
Filsafat William dari Occam bernama Nominalisme, yang dapat dipandang sebagai lawan utama sistem-sistem Skolastik, khususnya sistem Thomas Aquinas.
b)  Marsilius dari Padova (1270 – 1340)
Marsilius dari Padova mempunyai suatu pandangan baru dalam bidang filsafat politik, yakni tentang negara sebagai masyarakat yang lengkap. Menurutnya, negara adalah rakyat, yang secara bebas membangun hidup bersama melalui wakil-wakilnya demi kepentingan umum. Tugas utama negara adalah membentuk undang-undang yang adil.
D.  Abad XVI
     a.  Desiderius Erasmus (1469 – 1536)
Pendapatnya tentang hidup bermasyarakat dan tentang gereja disalurkannya melalui suatu buku satiris yang termasyhur berjudul Laus Stultitiae atau Moriae Encomium (1509) atau yang disebut “Pujian terhadap kebodohan"
     b. Thomas More (1478 – 1535)
Kritiknya terhadap situasi masyarakat zaman raja Hendri VIII dituangkan dalam sebuah buku satiris kecil yang berjudul Utopia (1516). 
     c.  Protestanisme
Luther (1483 – 1546) berpendapat bahwa gereja tidak boleh memiliki kekuasaan politik.
Calvin (1509 – 1564) menolak adanya suatu hukum alam dalam arti yang lama, yakni sebagai suatu hukum yang terikat pada aturan alam dan yang mencerminkan rencana abadi dari Allah. Menurutnya Rasa keadilan yang diciptakan Allah dalam hati manusia menjadi titik tolak hukum positif yang adil.

     d. Macchiavelli (1469 – 1527)
Buku terkenalnya berjudul Il Principe (Sang Raja). Sistem Macchiavelli terkenal karena suatu ide modern yang terkandung di dalamnya yaitu Ragione di stato atau Raison d’ etat, staatsrason.
     e. Jean Bodin (1530 – 1596)
Idenya yaitu kedaulatan (souverainite). Ide itu menyatakan bahwa dalam negara terdapat suatu kekuasaan atas warga-warga negara yang tidak dibatasi oleh suatu kekuasaan lain, pun pula tidak terikat pada undang-undang. Menurutnya seorang raja mempunyai kedaulatan itu.
     f. Hugo Grotius (1583 – 1645)
Bukunya yang terkenal adalah tentang hukum damai dan perang (De iure pacis ac belli), 1625. Ide hukum alam pada Grotius terlalu sempit dan tidak cocok untuk mencakup segi-segi kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dalam masyarakat.
     g. Thomas Hobbes (1588 – 1679)
Menurut Hobbes metoda yang tepat untuk mendapatkan kebenaran adalah metoda yang digunakan dalam ilmu-ilmu pengetahuan positif, yakni dalam ilmu-ilmu pengetahuan fisika dan matematika.
Buku-bukunya yang terpenting adalah De Cive, 1642 (tentang warganegara), Leviathan or the matter, form and power of a commonwealth, ecclesiastical and civil, 1651 (Leviathan, atau pokok, bentuk dan kekuasaan suatu hidup bersama, baik gerejani maupun sipil).
E. ZAMAN RASIONALISME ( 1650 – 1800 )
Hukum dipandang secara rasional melulu dalam sistem-sistem negara dan hukum.
     a. Pufendorf dan Thomasius
a)  Samuel Pufendorf (1632 – 1694)
Menurutnya aksioma dasar hukum alam adalah manusia harus mewujudkan diri sebagai makhluk sosial supaya ia dapat hidup di dunia dalam damai. Pufendorf menganut prinsip Staatsrason dari Macchiavelli. Raja berhak untuk melampaui batas hukum alam bila hal itu dituntut oleh kepentingan negara.
b)  Christian Thomasius (1655 – 1728)
Menurutnya hukum alam adalah hukum ilahi yang tertanam dalam hati manusia, yang mewajibkannya untuk berbuat apa yang sesuai dengan hakekat manusia dan tidak berbuat apa yang melawan hakekat itu. Perbedaan Thomasius antara hukum dan moral sangat mempengaruhi pikiran-pikiran tentang hukum dalam abad XVIII.
c) Christian Wolff (1679 – 1754)
Christian Wolff menguraikan teorinya tentang hukum secara singkat dalam bukunya : Institutiones iuris naturae et gentium, 1754 (Ulasan-ulasan mengenai hukum alam dan hukum bangsa-bangsa).
d) John Locke (1632 – 1704)
Locke secara prinsipial menolak ide staatsrason. Menurutnya mustahillah manusia menyerahkan hak-hak aslinya kepada instansi lain, oleh sebab hak-hak itu melekat pada manusia sebagai pribadi.
Locke membedakan antara kekuasaan sebagai fungsi-fungsi tatanegara, ada 3 kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan federatif. Kekuasaan tertinggi adalah kekuasaan legislatif yakni kekuasaan negara untuk membentuk undang-undang.
e) Aufklarung di Perancis
f) Montesquieu (1689 – 1755)
Montesquieu melihat adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi konkret suatu bangsa. Ia juga membedakan bentuk negara menjadi 3 yaitu monarki, republik dan despotisme.
g) Jean-Jacques Rousseau (1712 – 1778)
Menurut Rousseau kebebasan dan perasaan moral manusia diancam oleh situasi masyarakat yang ditandai oleh kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
h) Immanuel Kant (1724 – 1804)
Kant menyediakan suatu tempat khusus bagi moral sebagai pernyataan utama akal budi praktis. Menurutnya pula kewajiban dalam bidang hukum sulit dipertanggungjawabkan. Dalam filsafatnya timbullah juga kesulitan mengenai hubungan antara hukum dan keadilan.
F. ABAD XIX ( 1800 – 1900 )
Hukum dipandang sebagai faktor dalam perkembangan kebudayaan dan sebagai obyek
penyelidikan ilmiah.
1. Hegel
2. Materialisme historis
3. Mazhab hukum historis
4. Positivisme sosiologis
5. Ajaran hukum umum

G. Filsafat Hukum Dalam Abad XX
      1. NEOKANTIANISME, NEOHEGELIANISME, NEOMARXISME
  a. Rudolf Stammler
Stammler menggunakan metoda logis-formal untuk menerangkan pengertian orang-orang tentang hukum. 
b. Hans Kelsen
Menurut Kelsen, hukum dapat dipandang dalam arti formal dan dalam arti material dan di samping ilmu pengetahuan hukum terdapat juga politik hukum.
c. Gustav Radbruch
Ajaran Radbruch mnerangkan bahwa pengertian hukum tidak lain daripada pengertian hukum transendental-logis yang bersifat a-normatif.
d. Neohegelianisme
e. Julius Binder (1870 – 1938)
dalam teori Binder perbedaan antara hukum dalam arti keadilan dan hukum dalam arti hukum positif lenyap.
f.  Karl Larenz
Menurut Larenz dasar seluruh hukum adalah ide hukum.
g.  Neomarxisme
Menurut teori asli Marx hukum hanya berfungsi dalam suatu sistem produksi kapitalis, yakni guna melindungi hak milik pribadi orang-orang yang berkuasa. Seluruh hukum adalah hukum borjuis.
H. NEOPOSITIVISME
1. Realisme Hukum Amerika
Di Amerika beberapa pemikir tentang hukum mengikuti arah yang telah digariskan dalam filsafat pragmatisme. Pemikir-pemikir itu tidak memberi perhatian lagi kepada masalah-masalah teoretis tentang hukum, bahkan juga mengindahkan lagi aspek normatif dari hukum.
2. Realisme Hukum Skandinavia
Dalam filsafat nampaklah suatu antinomi antara kekuatan ide-ide hukum sebagai normatif dalam hidup orang dan penyangkalan radikal realitas normatifnya oleh tokoh-tokoh seperti Axel Hagestrom yang menyatakan pandangan bahwa sikap orang-orang terhadap hukum diwarnai oleh perasaan-perasaan yang berakar dalam bayangan-bayangan primitif, Ander Vilhelm Lundstedt yang mengemukakan bahwa kaidah-kaidah hukum, hak subyektif dan kewajiban hukum hanya merupakan bayangan pikiran, serta Karl Olivecrona yang menegaskan hukum normatif memang tidak ada.
3. Alf Ross
Alf Ross menyatakan bahwa keharusan yuridis merupakan suatu unsur realitas sosial dalam mana hidup manusia. Realitas sosial adalah sesuatu yang khusus yang tidak dapat disamakan dengan realitas alam.
4. H.L.A. Hart Hart
menentang pengertian hukum yang menurut Austin hukum adalah sejumlah perintah yang keluar dari seseorang yang berkuasa dalam negara secara memaksakan, dan yang biasanya ditaati.
5. Julius Stone
Buku yang terpenting di tulis oleh Stone adalah The province and function of law, 1947 (Bidang dan Fungsi hukum) Stone berpendapat bahwa ilmu hukum tidak mempunyai metoda penyelidikan sendiri.
6. John Rawls
Menurut Rawls kecenderungan untuk mengejar keuntungan individual tidak menjadi penghalang untuk menentukan prinsip-prinsip keadilan, bahkan menjadi titik tolak suatu pembagian yang merata.



FILSAFAT HUMANISME SERING DIBICARKAN TAPI JARANG DIAMALKAN

Humanisme berasal dari bahasa Inggris humanism. Humanisme merupakan aliran filsafat yang menitikberatkan pentingnya manusia. Untuk ambisi sosial, politik, budaya, ekonomi, dan lain-lain bisa jadi manusia dikorbankan. Lihatlah ambisi Amerika yang dalam alasannya ingin menghancurkan senjata pemusnah massal Iraq, akhirnya manusia ada yang dikorbankan. Atas dasar ambisi politik ketuhanan Fir’aun juga ia mengorbankan manusia. Atas dasar kemanjuan negara, tidak jarang manusia tidak dinomorsatukan. Pemahaman sederhana tentang humanisme adalah manusia dinomorsatukan dalam segala hal. Jabatan boleh dicopot atas dasar menghargai kemanusiaan. Harta didonasikan atas dasar menghargai kemanusiaan. Karir akademis boleh diundurkan untuk menghargai kemanusiaan, dan lain-lain. Humanisme adalah salah satu dari tiga kata kunci dari peradaban Barat kontemporer. Menurut Cak Nur embirio dari humanisme adalah renaisance Eropa yang melahirkan sekularisme di Barat Kristen. Para tokoh humanisme seperti Giovanni ”menalak tiga”. gereja kata Cak Nur. Kepada para agamawan Kristen di gereja, ia mengatakan bahwa manusia memiliki harkat dan martabat yang tinggi bahkan disebutkan suci. Para dewan gereja meminta Giovanni mempertanggungjawabkan pendapatnya itu. Selanjutnya Giovanni mengatakan bahwa ia membaca itu dari orang Saracen. Istilah Saracen kata Cak Nur ditujukan kepada Muslim Arab. Istilah itu disebutkan orang-orang Kristen pada masa Perang Salib. Artinya, jika mereka mengatakan Saracen, berarti Muslim Arab.  Menurut Email Dermengheim Islam dan tradisi nabi adalah humanism and open religion. Artinya, Islam dengan ajarannya yang dimanifestasi Nabi Muhammad melalui perkataan, perbuatan, dan sikapny, kemudian ditulis para sahabat menjadi buku hadits merupakan rangkaian konsep humanisme yang rasional, terbuka untuk diperdebatkan. Untuk menguji tesis Email Dermengheim itu bisa dilihat dari micro karya humanisme Islam yang ditulis oleh Nurcholish Madjid yang berjudul Islam Agama Kemanusiaan. Walaupun humanisme berbicara tentang menghargai harkat dan martabat manusia, bukan berarti tidak terdapat madzhab atau aliran pemikiran humanisme. Hal ini dapat kita lihat Eric Fromm menyebut socialist humanism yang berarti bukan capitalist humanism kata Cak Nur. Selain itu kita temukan juga istilah humanism sekuler.  Kata Cak Nur walaupun ada tindakan membantu orang miskin belum tentu itu berdasarkan pemikiran Islam, karena bisa jadi tindakan humunisme sekuler, dan tergantung pada motivasinya. Jika motivasinya untuk mencari ridha Allah contohnya, maka bisa dikatakan humanisme Islam. Tetapi jika tidak, maka bisa jadi humanisme sekuler seperti yang terjadi ketika Aceh dilanda Tsunami, manusia dari berbagai agama membantunya. Dalam paradigma yang variatif inilah, kita mengenal banyak aliran humanisme. Para peneliti, harus menentukan pijakan teoritisnya berdasarkan aliran-alirannya, agar indikatornya bisa terukur. Salah satu substansi dari humanisme adalah agaliterianisme, yaitu konsep persamaan hak sebagai manusia. Islam di Indonesia pertama kali diperkenalkan para da’i (wali songo wa akhwatuha) dengan memperhatikan egaliterianisme. Menurut Alwi Shihab, Islam pertama di Indonesia disebut dengan Islam sufistik dengan pendekatan perilaku. Dengan demikian, humanisme dalam Islam bisa digali dalam tasauf. Tasauf dalam pengertian yang tidak sempit, memperhatikan unsur-unsur vertikal dan horizontal. Lihatlah bagaimana tingginya konsep humanisme tasauf Rabiatul Adawiyah dalam konsep Mahabbah. Ia mengatakan tidak ada ruang dihatinya mencintai Rasulullah karena ruang cinta itu sudah diisi oleh Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Kemudian, tidak ada ruang membenci syaitan, karena hatinya telah isi dengan penuh cintah kepada Yang Maha Baik. Konsep ini bisa jadi bagian sebagaian besar orang konsep yang utofis, tidak terjangkau. Untuk yang lebih soft, barangkali dapat dilihat dalam konsep akhlak atau filsafat akhlak. Dalam pembahasan humanisme di Barat tidak jarang juga berakhir pada persoalan moral. Oleh sebab itulah, menjelajahi lautan humanisme, bisa di antaranya ditelusuri melalui lautan filsafat etika. Filsafat etika adalah teoritisasi filosofis tentan persoalan baik dan buruk. Bukankah persoalan akhlak dan moral membahas persoalan baik buruk? Teringat akan ungkapan seorang sufi Imam Junaid yang mengatakan, ”dulu tidak ada tasauf, tetapi banyak sufinya. Sekarang banyak tasauf, tetapi tidak ada sufinya”. Hal yang mirip bisa kita temukan, orang banyak yang terampil dan fasih berteori tentang humanisme, tetapi tidak ada humanisnya, alias tidak ada pengamalnya. Penulis teringat juga dengan ungkapan Prof. Dr. Afif Muhammad Guru Besar UIN SGD Bandung, ketika sekitar tahun 1998 saya belajar menerjemah ke rumahnya. Ia mengatakan, banyak orang berteori tentang cara menerjemahkan, termasuk dosen Terjemah, tetapi mereka tidak menerjemahkan. Allahu a’lam bi al-shawab.
N/B: Da sorry yow nek gag pas dengan apa yang u maksud..??

---((SELAMAT MENGERJAKAN YO,... ^_^))--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar